Ada satu ingatan yang mengganggumu selama lima belas menit dua puluh lima detik sebelum makan siang waktu itu: sebuah kaca mata. Selalu ada yang nampak sama; kautandai itu masa lalu. Jika ada satu hal yang paling kau benci di dunia ini, itu tak lain sesuatu yang sama sekali tak berubah.
Namun, ia
di depan matamu kini. Sepertinya, ia sedang menulis sesuatu yang kauketahui
sungguh: sesuatu yang menunggu untuk diketahui belakangan, selepas makan siang.
Tibalah kini
waktunya mengumpulkan bukti. Mungkin apa-apa yang terlihat, petunjuk berharga. Mengumpulkan
kata-kata barangkali latihan bagus untuk menulis, tetapi tampaknya kau lebih
suka melakukannya demi mengetahui sesuatu dengan lebih baik.
Mata
perempuan itu terpaku pada gerak pulpen di atas secarik kertas. Rambut yang
ikal, blouse yang biru, sepatu putih, kursi duduk, atau kaki yang
disilangkannya di atas karpet coklat susu tak lagi penting. Sebab, ada yang
lebih terang dari itu semua: tanda namanya.
Ia bukan
dia dalam ingatanmu. Kaupastikan -dan lagi-lagi begitu- ketakutan dalam benakmu
untuk mengingatnya sama besar dengan ketakutan untuk melupakannya.
Dan,
waktu makan siang harusnya datang dua puluh detik lebih cepat, sebelum kaca mata
perempuan itu memergokimu dan menyeretmu lebih jauh ke ingatan tentang
seseorang itu.
Atau,
sesuatu yang terburuk tertulis dalam sejarah hidupmu, lebih buruk dari sekedar
tulisan tangan perempuan itu di secarik kertas ini,” Kamu baik-baik saja?
Tulisanmu tidak terbaca.”
Jogja, 30
Maret 2009
P.S.
Terima kasih Mrs. V.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar